Minggu, 15 Maret 2009

Prosa


Lintang Ismaya

PROFESI

I.

Di negeriku

Jadi badut dan pesulap

Adalah pilihan profesi yang paling utama

Jika bisa sulap tentu bisa pula jadi badut

Di depan jutaan penggemarnya;

Sang badut berkata: “Tuan-Puan yang budiman

Sejarah mencatat bandung lautan api

Apakah Tuan-Puan menyaksikannya?

Tentu tidak bukan!”

Para penggemar jadi bertanya-tanya,

Apakah benar ada sejarah itu? Keadaan jadi gaduh

Sang badut dengan kepintarannya

Mengalihkan topik pembicaraan:

“Kini di depan Tuan-Puan sekalian,

Aku catat sejarah baru dalam lembaran

Guinnes book of world records, kisah pembakaran hutan”

O, apa yang terjadi? Yang terang dan jelas

Segala satwa lari sudah

Ke dalam buku catatan biologi

Atau ke dalam buku cerita kanak-kanak

Yang dibaca sambil tiduran

Sungguh, seketika hutan

Jadi padang arang. Sang badut tertawa ngakak

Mecorat-coret sejarah baru

Dengan darah rakyat, lebih merah

Dari warna matahari segaris permukaan laut.

“Hisaplah asapnya wahai Tuan-Puan

Biar hidup penuh gairah,” Katanya. Lalu

Yang dibakarnya bukan hanya hutan saja

Gedung-gedung, rumah-rumah kumuh,

Mobil, motor, dan pasar dalam sebuah kerusuhan

Demi tegaknya demokrasi? Adakah dusta?

Hari melipat hari, sang badut beraksi lagi:

Menyulap perempuan-perempuan keturunan

Jadi semacam kisah bunda maria,

Mereka hamil tanpa suami.

Namun, bukanlah badut dan pesulap,

Namanya; jika trik dan intrik

Serta sensasinya berhenti sampai di situ

Di hari yang lain, --sang badut mensimulasi

Juga merekunstruksi kejadian-kejadian

Di zaman bar-bar, fandalis, purba

Dan zaman urdu lainnya;

Ada bendera di bakar,

Jerit petani sampang, tangis anak jalanan, tanjung priouk

Mangkuk merah, trisakti, ambon berdarah dan bom

Yang meledak di mana-mana. Fantastis. Seluruh mata dunia

Melihat negeriku, negeri-negeri tetangga

Merasa bangga atas kelihaian dan kecerdasan

Sang badut, --demi kecerdasan dan kelancaran

Aksi sang badut tidak punah, negeri adi daya

Mengucurkan dana IMF,

Sampai akkhirnya, --Tuan dan Puan di negeriku

Saking terlalu asyik menyaksikan hiburan dari

Sang badut dan pesulap, mungkin juga ketagihan

Akhirnya mereka lupa pada

Kesehatan jasmani dan rohani; --seluruh rakyat negeriku

Diserang wabah demam, namun bukan demam

Tapi semacam demam, --bayi-bayi lahir

Harus menanggung beban hutang di pundaknya.

Pagi harinya negeriku hening

Lebih hening dari surau di ujung desa. Harga-harga

Melambung tinggi. Rakyat kelimpungan

Digenggam demam, ditekuk tangis dan sesal

Akan negeri yang runtuh ke dasar jurang peradaban

Bendera berdiri tegak setengah tiang!

II.

Detik, mengunyah jam

Membuka lembaran sejarah baru

Untuk diisi tulisan, atas kisah sang badut

Berikutnya; di era reformasi, jumlah sang badut dan pesulap

Kian bertambah populasinya, --kitab-kitab kuno

Ramalan-ramalan buhun, dipelajari sang badut, penuh khidmat

Bukan hanya kitab dan ramalan-ramalan buhun saja

Yang dipelajari sang badut, pun mereka beramai-ramai

Membentuk sekte, mendirikan partai-partai baru

Lagi-lagi dengan alasan klise; demi tegaknya

Demokrasi? Adakah dusta?

Sebelum melahirkan sulapan barunya;

Kemunculan kelompok-kelompok badut yang berkolaborasi

Memberi hiburan yang cukup menentramkan rakyat

Badut-badut yang korup ditangkap

Diadili, dieksekusi oleh para badut sendiri

Juga angin segar untuk kenyamanan Tuan dan Puan

Dari negeri tetangga. Penghasilan Sang badut, sebagai

Businessman sukses, mendorong nalurinya untuk

Membuka pasar bebas di negeriku, demi mengisi zaman

Kemerdekaan. Demi lancarnya pembangunan di seluruh sektor

Atas dalih, --pasar bebas bisa meningkatkan

Pendapatan devisa asing, untuk keuntungan negeriku

Demi tegaknya demokrasi, demi kolaborasi cantik

Saling hormat-menghormati antar negeri

Pasar bebas pun resmi bergulir. O, apa yang terjadi?

Yang terang dan jelas, produk dalam negeri

Kehilangan pasarnya di negeri sendiri!

Kedatangan hari yang didorong oleh

Detik jam, tak bisa ditolak oleh tanah negeriku

Sang badut pun, sehabis memamah kitab-kitab kuno,

Ramalan-ramalan buhun dengan hatam diajinya.

Sang badut pun, --kembali beraksi dengan kepintaran

Dan kecerdasan permainan barunya

Mula-mula, --disulapnya kilang minyak dan gas,

Menjadi banjir lumpur. Rumah-rumah penduduk,

Ladang-ladang, sawah-sawah pabrik-pabrik

Dan keasrian tata kota mewujud Lautan

Lumpur. “Inilah, kenyataan itu, inilah ramalan

Leluhur kita itu, tanpa ada aku, --maka ramalan mereka

Bulshit semua, alias tidak akan nyata

Atau mewujud, --atas terjadinya ramalan pulau terbagi tiga.

Oup, ada yang lupa, Tuan dan Puan yang budiman

Tunggu episode berikutnya, sebab permainan sulap ini

Baru dimulai” Ucap sang badut, disela-sela epilognya

Sehabis mempertontonkan kebolehan barunya.

Aksi sang badut dengan senyum dan khas tertawa ngakaknya

Lagi-lagi, mencorat-coret sejarah baru dengan darah rakyat,

Lebih merah dari warna biji saga.

III.

Disebabkan populasi sang badut dan pesulap sudah terlalu

Banyak, menyebar ke pelosok-pelosok desa

Persaingan pun mulai berlaku diantara

Sang badut dan pesulap. Demi tegaknya demokrasi,

Demi tegaknya hak azasi Sang badut dan pesulap

Dari semua sekte

Mengadakan sayembara: “Mau tak mau, negeri ini perlu

The master badut dan pesulap, --maka kepada semua

Tuan dan Puan di negeri kita tercinta ini, supaya kestabilan

Dan keamanan kami ketika sedang beraksi tidak ada demo

Harus diadakanlah pemilihan, sesuai faknya masing-masing

Agar tidak terjadinya persaingan job, --mari, kita adakan

Pemilihan umum, --untuk wakil-wakil badut dan pesulap

Demi stabilnya tatanan negeri ini, tidak terhambat

Pembangunannya serta hidup dan kehidupan generasi

Bangsanya. Hidup demokrasi. Hidup hak asasi. Merdeka!”

“Ouw,…Yap. Hampir saja lupa; ini ada kaos, segenggam beras

Dan lauk pauknya, untuk dibawa pulang ke rumah Tuan dan Puan

Sebagai rasa cintaku pada semua penggemarku. Atas kasihNya

Kita bisa setia dan sejalan; satu tujuan. Ini bukanlah sosialisai

Terlebih mencuri start kampanye, hanya sekedar hadiah dariku

Selama ini, atas kepuasan Tuan dan Puan yang kerap menyaksikan

Aksi hiburan-hiburan kami di atas panggung hidup dan kehidupan

Negeri kita tercinta ini.” Teriak sang badut di tengah-tengah kampanyenya

Dengan penuh trik dan intrik, --memikat hati para pemilih

Tuan dan Puan serta seluruh rakyat di negeriku

Kembali kelimpungan, --kembali mabuk warna-warni

Partai para sekte badut. Dari satu partai badut, ada

Yang mencapai 13 orang bahkan lebih, untuk untusan

Daerah. Apalagi untuk duduk di senayan. Bukanlah badut

Dan pesulap, jika janji-janjinya tidak menggiurkan hati, pikir

Dan rasa Tuan dan Puan serta seluruh rakyat di negeriku.

Demi memperebutkan selembar sejarah baru yang akan dituliskan

Tangan The Master serta para kaki tangannya sang badut dan pesulap

Yang terpilih; konon, katanya dananya, melebihi pesta demokrasi

Di negeri adi daya. Fantastis. Betapa mahalnya

Untuk sebuah kata setia, yang kerap diombang-ambing

Bukan hanya dalam tingkatan janji-janji para pecinta namun

Dalam hal pemilihan the master sang badut dan pesulap pun,

Kata setia, menjadi senjata ampuh, untuk memikat hati

Para Tuan dan Puan serta seluruh rakyat di negeriku.

Dengan dalih; demi tegaknya demokrasi? Adakah dusta?

Kini, kata setia di negeriku, menjadi misterinya sendiri, seperti

Hidup dan matinya sang ulat di dalam kepongpong!

1996-2009

______________

Lintang Ismaya salah satu dari sembilan nama pena yang dimiliki Doni Muhamad Nur., Alumni STSI Bandung. Menulis puisi, Cerpen, Novel, Esai, Artikel Kebudayaan, Reportase, Naskah Drama, Naskah Sinetron dan Film. Sempat jadi Tim Penulis Script Sinetron, Videoclip, Iklan dan Company Profile di PT. Mega Cinema Production M-Pro dari tahun 2000-2004 dan tahun 2006-2007, Wartawan dan Redaktur Khusus di majalah Seni & Budaya “Suara Cangkurileung Bandung” dari tahun 2002-2004. Dari tahun 2003-2006 magang di PUSDOKSEN STSI Bandung “Pusat Pendokumentasian Seni STSI Bandung”, sebagai Kameramen. Sedang dari tahun 2004-2006 menjadi Guru Pembina Ekstra Kulikuler Teater Jasad di SMA Pasundan 1 Tasikmalaya dibawah binaan Teater Dongkrak Tasikmalaya. Tahun 2007, bekerja di taZtv “PT. Global Siar Mandiri” sebagai Script & Director. Tahun 2008, namanya tercatat, sebagai tim Pembina Kesenian DISBUDPAR JABAR gawe bareng dengan PUSLITMAS STSI Bandung. Kini, semuaaktifitasnya di dunia broadcash, sedang pakeum.

_______

Dok. Foto: Miral




Lebih Lanjut..

Kamis, 15 Januari 2009

Ode untuk Mahasiswa Baru

Ode untuk Mahasiswa Baru
Oleh: Kelik Nursetiyo Widiyanto

Dari mulai sepatu, kaos kaki, celana, kemeja/ CD, singlet, BH, bolpoin, buku tulis, penggaris/ penghapus…pokoknya yang menunjang sekolahku/ semua serba baru.// O tak lupa papaku belikan aku sebuah jam tangan/ agar aku tak lupa waktu. Esok harinya mamaku belikan aku/ handphone. Katanya, bila ada apa-apa/ dapat dihubungi dan menghubungi/ dengan cepat dan praktis lagi// Lusanya aku diberikan mobil. Katanya; agar aku tak terjebak/ dalam kemacetan, yang menyebabkan ketinggalan pelajaran/ juga agar aku tak kepanasan tak kehujanan/ biar tubuhku tetap terjaga kesehatannya, katanya// makanku, tentu saja terjamin. Setiap tiga bulan sekali/ aku cek-up ke dokter pribadiku// di kampus aku disegani dan dihormati/ aku rajin kuliah/ tetapi aku tetap saja enggak bisa apa-apa// awas, jangan bilang sama papa/ dan mamaku, ya?

Puisi Aku Mahasiswa Baru karya Doni Muhammad Nur di atas merefleksikan kepada kita belajar di perguruan tinggi sekarang ini cenderung lebih sebagai gaya hidup saja. Kebanyakan mahasiswa baru hanya berganti baju saja dari berseragam menjadi berpakaian bebas. Hanya tampakan luarnya saja yang berbeda sementara pola pikir dan metode belajarnya masih seperti kala ia mengenakan seragam putih-abu. Adalah orientasi penerimaan mahasiswa baru bertindak sebagai jembatan bagi mahasiswa baru untuk mengenal pola belajar di kampus sehingga tidak menganggap kampus sebagai SMTA kelas empat.
Dalam perjalanan perkuliahan, ketika dosen berhalangan hadir, bisa dihitung dengan jari beberapa mahasiswa saja yang berinisiatif ke perpustakaan atau menggelar diskusi di kelas. Mereka lebih senang menghabiskan waktu dengan kongkow bersama di kantin, kafe atau mal-mal. Ketika dosen menerangkanpun tak sedikit dari mereka yang lebih senang menjadi pendengar setia daripada berpikir kritis.
Di waktu senggang mereka lebih senang nongkrong di Dago, malam harinya dugem di diskotik-diskotik Jalan Sudirman. Atau bahkan hanya keliling-keliling Bandung pake mobil papa, jajan di pusat jajan kota dari Lembang hingga Otista. Anggaran belanja setiap bulannya lebih banyak dibelikan baju, celana, aksesoris di factory outlet yang di kota bandung bagaikan warung rokok. Tak lupa biaya nonton bareng pacar minimal seminggu sekali, nraktir teman di awal bulannya. Hanya sekian persen saja yang dibelanjakan buku-buku kuliah. Buku-buku itupun dibeli jika dianjurkan dosen untuk membeli, tak jarang buku yang ditulis oleh sang dosen.
Bagi mahasiswa borjuis mungkin hal tadi hanya setetes air di luasnya samudera kehidupan. Tetapi bagi mahasiswa proletar yang pergi kuliah dengan jalan kaki, maksimal naik bus kota membayarnya pun dengan karcis abudemen. Jangankan untuk jajan di Batagor Riri atau Surabi NHI, dengan alasan penghematan mereka berpuasa senin-kamis bahkan puasa Nabi Daud. Pendapatan setiap bulan tak cukup untuk menceburkan diri sebagai generasi nongkrong. Buku yang dibelipun beberapa buah saja bukan tak butuh tapi tak ada dana. Untuk mengerjakan tugas nebeng dengan kawan yang punya komputer, lumayan gratisan. Ironis kan?
Ada pameo di kalangan kampus dikenal istilah mahasiswa silabus. Mahasiswa jenis ini hanya mengkonsentrasikan otaknya untuk ilmu yang bakal diterima dari sang dosen sesuai dengan agenda belajar. Tidak ada inisiatif untuk mempelajari hal-hal di luar pelajaran-pelajaran yang harus mahasiswa santap. Padahal belajar di perguruan tinggi, mengutip filosof barat think globaly act locally.
Untuk mendapat nilai terbaik ada banyak jalan, halal maupun haram. Bila mengikuti prosedur maka sang mahasiswa harus belajar ekstra keras sekaligus mampu menyelesaikan tugas dan ujian sesuai dengan kehendak dosen. Cara lain yang lebih taktis ialah menggunakan kawan sebagai joki, namun yang lebih efektif dan efisien ialah menggunakan personal approach dengan sang dosen. Jika dosennya laki-laki mata keranjang dan Anda mahasiswi berparas cantik, tinggi, langsing dan mempunyai daya pikat luar biasa, Anda bisa menggunakannya. Tentu saja dengan resiko harga diri yang tergadaikan.
Demikian pula untuk mendapatkan ijazah, bagi mahasiswa borjuis mungkin tak terlalu susah. Selain dalam perjalanan kuliah akan mendapatkan kemudahan dengan biaya yang tidak perlu dikhawatirkan. Diakhir kuliahpun tanda bukti kelulusan dan transkip nilai bisa ditukar dengan beberapa lembar uang seratus ribuan. Tapi sebaliknya bagi anda mahasiswa yang kembang-kempis mungkin mengikuti prosedur yang birokratis mau tak mau harus ditempuh.
Tantangan sesungguhnya yang bakal dihadapi justru kelak setelah lulus kuliah. Bagi mahasiswa yang telah memupuk kedekatan dengan banyak relasi mendapat pekerjaan tidak menjadi sulit. Sebaliknya jika selama menjadi mahasiswa tidak banyak bergaul, mendapat kerja seakan memakan kepala sendiri.
Kerja. Ya, pendidikan kita masih mengorientasikan mahasiswa sebagai objek. Sang objek ini diproyeksikan untuk bekerja di tempat orang lain. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pelatihan enterpreneurship (kewirausahaan). Padahal, materi kecerdasan menciptakan lapangan pekerjaan seharusnya menjadi kajian selama perkuliahan.
Bagi Anda mahasiswa baru, paparan di atas sekedar sekelumit bayangan dunia kampus. Bukan untuk ditakuti bukan pula untuk diabaikan. Masuki kampus dengan jiwa terbuka, sehingga kita bisa menjadi lebih toleran dengan orang lain. Jika Anda sudah duduk di bangku kuliah namun tetap arogan, rasanya Anda gagal menjadi mahasiswa. Jangan menjadi mahasiswa yang rajin kuliah tapi tetap tidak tahu apa-apa.

Mar 20, '07 4:57 AM
for everyone
dicoppy dari blog "jejak maskelik" multyply.com
Lebih Lanjut..

Rabu, 07 Januari 2009

CLEPTO SCIENCE

Clepto Science
Cerpen: Lintang Ismaya

Cahaya itu menghias langit malam, memancarkan sinar warna-warni. Ada yang kombinasi, seperti bendera-bendera partai. Di jalan raya, perkampungan, gang dan rumah-rumah, mayoritas kesibukan mereka hampir sama; meniupkan terompet, sebagai ajang pergantian tahun baru. Ada juga yang menemukan calon pacar. Cinta lokasi, bahasa gaulnya. Aku yang asyik sendirian di atas atap, Gedung Srangenge, lantai sembilan. Ditemani kamera digitalku, dengan lensa yang cukup bisa menembus area jalan, sibuk oleh orang-orang dan berjenis kendaraan yang hilir mudik, melahirkan komposisi tarian macet, --bak ailr air sungai cikapundung yang mampat oleh antrian sampah.
Yap. Cukup lumayan, kamera fotoku, setidaknya bisa mengabadikan moment tahunan ini. Bagus juga mengabadikan gambar dari bibir atap. Hasil gambarnya cukup frontal.
Lima menit berlalu, dari detik-detik perayaan tahun baru, Hp ku berbunyi, pertanda menerima sebuah SMS masuk.“Azan” Aitem SMSku menujukkan sebuah SMS dari nama tersebut. Azan, kepanjangan dari nama Acep Zamzam Noor. Di negeriku, terutama bagi orang-orang yang menyukai sastra puisi, nama itu sudah tidak asing lagi. Azan, seorang penyair yang kerap menyabet berbagai penghargaan, baik lokal, nasional bahkan internasional sekalipun. Puisi-puisinya yang liris, salah satu kekhasan bentuk pengucapan dia dalam gaya penulisannya. Pun dalam SMS demi SMS dari Azan, khususnya untukku, kerap menamam benih kata-kata profokatif namun full humoris, seperti SMS kali ini, aku yakin pasti isinya nyeleneh:
“Bagi caleg yang bermuka buruk, dilarang memasang baligo besar-besaran di jalan-jalan raya, sebab membikin anak kecil menangis, membuat orang tua muntah, bagi yang melihatnya dan ironisnya lagi; menambah jumlah kecelakaan lalu lintas. Wakilkan saja dengan gambar Mulan Zamilah!” Tuh, benarkan peradugaku tadi? Pasti isinya propokatif namun nyeleneh.
Dengan spontan, aku jawab SMS tersebut:
“Kang tambahkan saja pada isi puisimu yang berjudul Dongeng dari Negeri Sembako? Kira-kira begini kata-katanya: ‘ada banyak cara/ untuk menjadi pesaing iklan XL// salah satunya /jadi caleg!’ gimana kang?”
Denngan secepat kilat, Hpku langsung berbunyi lagi, menerima balasan dari Azan:
“Boleh. Oke,.. oke,.. bagus. Good idea. Sip. Tapi tolong, SMS yang tadi, sebarluaskan yah? Ke teman-temanmu, caleg yang kau kenal dan sebagainya. Oke?”
“Siap. Malam ini, aku akan sebarkan di websiteku kang!” jawabku, dengan spontan.
Cahaya kembang api, satu, dua warna, masih menghiasi langit malam. Meski tak semeriah tadi, kali awal waktu menunjuk pada angka 00:00. Pun pada sorak sorai orang-orang, bising kendaraan, jalanan nyaris lengang, berhias serpihan-serpihan kertas, bekas ledakan mercon, kembang api, bungkus makanan dan kotoran lainnya.
Jam tangnku menunjuk pada angka 00:45. Vita, dengan terengah-engah menghampiriku yang lagi asyik duduk di bibir atap.
“Wah, rugi lho, tadi ga ikut ke bawah. Untung aku dapat berita. Hasil wawancara. Murni. Tidak sepertimu, pasti isi beritanya fiktif, hanya fotonya saja yang asli?”
“Tiap pergantian tahun juga begitu, tak ada yang special bagiku? Semuanya sama saja; tak jauh dari trompet, pesta kembang api dan petasan, sebagian anak ABG ada yang mabuk-mabukan, gratis ugal-ugalan di jalan, tanpa harus takut ditangkap polisi?”
“Stop! Lalu, dibagian mana kau menghargai posisi profesimu?”
“Akukan hanya wartawan foto? Lupa ya? Berita itu tugas dikau? Paham Non?”
“Iya tapi, foto orang yang diwawancara tadi ga ada?”“Emangnya tadi wawancara apa? Tentang tahun baru?”
“Bukan. Tapi nyambung juga dengan perayaan tahun baru. Topiknya sih harapan?”
“Yap. Bisa nyambung. Harapan. Dikau kasih pertanyaan apa pada orang tesebut?”
“Langsung saja tentang harapan? Begini, --apa harapan bapak, dengan datangnya tahun baru 2009 ini? Lalu si bapak tersebut menjawab dengan begitu ringan, singkat, padat, masuk akal, logis dan tak neko-neko. Fantastik?”
“Iya, lalu jawaban lelaki itu apa?”“Bukan laki-laki. Tapi seoranng bapak? Ingat pelajaran perdata dong? Salah kata, salah makna. Wah sudah dihukum tuh?”
“Yap. Maaf. Bapak-bapak. Gimana jawaban bapak tersebut?”
“Begini: ‘harapan Emang, sederhana, bagaimana caranya, mentalitas penduduk bangsa ini, dari semua kalangan, patuh pada ucapanya. Dengan contoh seperti ini: ketika harga BBM naik, sopir kendaraan umum, buruh pabrik dan lainya beramai-ramai demo, ingin dinaikan ongkos trayek, naik gaji. Pun harga jual beli sembako secara otomatis menaikkan harga, tanpa menunggu turunnya perintah. Hal ini pun merambat pada semua sektor. Eh,… ketika harga BBM turun lagi, ongkos angkot, atau kendaraan umum, tak turun lagi, pun pada gajih buruh. Bahkan harga Gehu, Mendoan, Bala-bala, Combro yang sedang kita makan ini; pun ikut naik daun, 500rp per biji. Tidak turun lagikan harganya?”
“Bukankah bapak yang dagang jenis makanan ini semua? Kenapa gak diturunkan? Biarkan saja pedagang lain yang menjual makanan sejenis, beda harganya dengan bapak?”
“Yap. Memang. Wah, kalau begitu Emang yang kena tilang, digebugin orang-orang seprofesi dan digulingkan. Soalnya, Emang dianggap minor, pembangkang, tidak setia kawan. Ingin disebut pahlawan. Tahulah pasti Non ini, sebagai wartawan, --tentang sosiologi bangsa kita ini? Seperti anggota komisi-komisi itu? Jangan salah lho Non, meski si Emang ini profesina sebagai tukang gehu, punya komisi juga, Persatuan Pedagang Kaki Lima, komisi TG alias Tukang Gehu?”
“Yap. Wawancara yang eksklusif itu Vi?” Timpalku., --atas ceritanya itu. “Vi, namun yang jadi permasalahan, apakah bisa seorang pedagang kaki lima menjawab sediplomatis begitu?”
“Jangan salah, ketika kau masih kuliah, bukankah profesimu saban malam, dagang nasi goreng? Siapa tahu dia juga mahasiswa? Mahasiswa S2, bahkan S3? Atau intel? Mungkin juga anggota KPK?”
“Yap. Mungkin. Tapi bagaimana pun, logika dan streotip masyarakat kita. Bilamana berita ini muat cetak, gak mungkin dipercaya, pasalnya sample dikau ini, Tukang Gehu? Bisa-bisa profesi dikau sebagai wartawan, dianggap wartawan full improfisasi dalam menyajikan berita, ditambah tak ada foto dan kau lupa menanyakan siapa nama bapak itu?"
“Lho, kok tahu, aku lupa menanyakan nama bapak tersebut? Berarti tadi kau nguntit?”
“Tidak! Itukan kebiasaanmu, lupa nanya nama?” Hening. Angin berhembus setengah hati. Gelisah-gelisah suara nafas. “Ups. Aku ada ide, bagaimana kita minta kang Azan saja sebagai nara sumbernya. Kita telephone dia. Tadi aku dapat SMS darinya. Nih baca sendiri. Perkataan hasil wawancara dikau tadi, sebagai samplenya kang Azan saja. Bagaimana?"
“Apa dia mau? Ah, lebih baik aku bikin esai saja. Sekarangkan, zamannya clepto science? Syahkan kalau ide dasar esaiku dari Tukang Gehu? Siapa tahu Tukang Gehu tersebut, pernyataanya hasil dari nyontek?”
“Clepto science bagaimana?”
“Seperti pernyataan SMS kang Azan ini, tentang wajah buruk caleg. Diakan seorang penyair? Aku pikir pernyataanya, mempunyai makna ganda. Pasti wajah buruk di sini, seperti visi dan misinya yang mencontek dari generasi-generasi terdahulu, ada yang merekonstruksinya, mencontek penuh, bahkan ada juga yang mengatasnamakan sebuah agama, inilah mungkin yang dimaksud Kang Azan tentang wajah buruk caleg?”
“Lalu Mulan Jamelah, simbolik apa?”
“Ikon, kemunculannya murni. Visi dan misinya tak neko-neko, datang ke ibu kota. Tenar dan popular, bukan sekedar modal wajah, tapi suaranya pun khas?”
“Terus tentang idea esaimu itu?”
“Wah kacau, nilai IP pelajaran sastramu berapa sih? Sekarangkan zamannya sastra kolase, dekontruksi, adaptasi, diilhami. Kreatif sih. Tapi bagiku itu termasuk clepto science? Bukan hanya di sastra saja, tapi di seni rupa pun. Bahkan silabus pengajaran juga?”
“Pusing ah, bagiku; murni atau tidaknya sebuah karya, tergantung selera dan yang mengomentari karya tersebut? Seperti sajak Palsu-nya Agus R. Sardjono. aku suka sajak itu. Menggelitik, realistis. Semuanya palsu?”
Lampu-lampu jepang, seakan tak terlihat lelah, menerangi hutan lambang. Memberi warna dan rupa, --silhuet malam. Cahaya kembang api, satu, dua warna, masih menghiasi langit, berseling dengan suara gelegar petasan. Vita menatapku penuh muatan makna. Aku jadi gerogi dibuatnya, tak biasanya Vita menatapku seperti itu. Adakah Vita mencintaiku? Ups. Bilamana Vita menyukaiku, adakah cinta Vita termasuk clepto science, --lebih tepatnya Infatuation atau ketertarikan sesaat harus berlandaskan sesuatu; alias cinta lokasi yang sudah membudaya? Ah, aku kurang begitu paham tentang istilah, --yang terang dan jelas; ini kisah tersaji dalam lembar buku sejarah kehidupanku! ***Bandung 01012009***


______________
Lintang Ismaya nama pena dari Doni Muhamad Nur, lahir di Tasikmalaya, pada tanggal 1 Oktober 1979. Laporan reportase, kritik seni, cerpen, esai dan puisinya sempat termuat di majalah Gong, Kompas JABAR, H.U. Pikiran Rakyat “Khazanah”, Majalah Syir’ah, Priangan, Majalah Seni Budaya, Buletin Daun Jati, Buletin Sastra Puitika, Jendela News Leaters, Galamedia, Radar Bandung, dan lain-lain. Antologi puisi bersamanya yang telah terbit: Orasi Kue Serabi (GKT, 2001), Enam Penyair Meminum Aspal (SST, 2002), Poligami (SST, 2003), Bandung dalam Puisi (YJBS 2001 & 2007) kumpulan puisi penyair Bali-Jawa Barat “ROH” (Mnemonic, 2005). Lintang pun menulis Naskah Drama, Skenario Sinetron dan Film. Alumni STSI Bandung pada jurusan Teater.

______
Tulisan ini pernah dimuat di SK Priangan. pada tanggal 4 Maret 2009. halaman 9. kolom budaya.

Lebih Lanjut..

Minggu, 21 Desember 2008

MONOLOG

ATAS NAMA DOA atawa SENYUM LASTRI
Karya: Lintang Ismaya


RUANG PENJARA. PESAKITAN TAMPAK TIDUR SEPERTI ANJING. DARI ATAS LANGIT-LANGIT JATUH BUKU DAN BOLPOINT MENIMPA MUKANYA. TERDENGAR SUARA SESEORANG: Besok, hari terindahmu, --menghadapi duabelas regu pasukan tembak. Tulislah biografi hidupmu, biar semuanya jelas. Siapa tahu kau jadi figure yang fantastic bagi generasi mendatang? ORANG ITU TERTAWA.

PESAKITAN BANGUN SECARA PERLAHAN-LAHAN. MELIHAT SEKITAR. MELIHAT KE ARAH SUMBER SUARA. MENGAMBIL BUKU DAN BOLPOINT. PESAKITAN TERTAWA LEPAS. BERNYANYI-NYANYI RIANG. SEPERTI MENULISKAN SESUATU DI DALAM BUKU TERSEBUT.

Seseorang datang dan pergi di kehidupanku. Seperti angin waktu yang kerap menyimpan ribuan rahasia. Begitulah adanya hidupku. Aku terbentuk. Terpatok. Terpenjara. Terkontaminasi. Terseok-seok. Menjadi sesosok diriku. Lahir dan tumbuh, sampai akhirnya terpatri di tempat ini. BANGKIT. MENCARI PUNTUNG ROKOK DAN MENYALAKANNYA. MEMAINKAN ASAPNYA. TERTAWA. MENARI-NARI KECIL BAK BALERINA.

Sejarah. Yap. Semua orang pada akhirnya sama; saling berebut tentang sejarah. Menuliskannya pada lembar demi lembar buku sejarah. Tanpa peduli ada yang membacanya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, hanya dibaca oleh diri kita sendiri. SEPERTI MENDENGAR SUARA. Apa? Yap. Benar. Pendapat anda benar sekali? Bukankah di hadapan Sang Pencipta, yang kita sodorkan dan diperiksa adalah lembar demi lembar sejarah hidup dan kehidupan kita? Itulah fungsinya malaikat, sebagai asisten kita yang dianugrahkan dari Sang Pencipta. HENING SEJENAK. TIBA-TIBA SEPERTI MENGAMUK Asu. Bangsat. Apa peduliku dengan dogma-dogma? Ketika lonceng gereja berbunyi, tak ada lagi biara-biara suci. Tak adalagi nyanyian koor. Ketika gema adzan berkumandang, tak adalagi kiai yang membawa santri-santinya untuk berjamaah. LANTANG SUARANYA Aggggggggggh,… EMOSINYA MENINGGI. Ibuku, baru saja satu hari meninggal, bapaku sudah kawin lagi. Aku dan adikku ditendangnya dari rumah. Agama. Apa yang aku dapat dari pemahaman nilai-nilai religious yang ditanam sejak kecil oleh ibu dan bapakku? Sementara kelakuan bapakku tak ubahnya anjing! SEPEERTI MENDENGAR ORANG BERBICARA. LIRIK KANAN LIRIK KIRI. KEPALA DAN TUBUHNYA BERPUTAR-PUTAR. SUARA-SUARA ITU SEMAKIN TAJAM MENGHUJAMI PIKIRANYA “KASIH INSPIRASI MUSIK”. Diam! Tidak! Aku tidak sensitrif? Tapi aku bernbicara fakta. Jangan menghakimi aku begitu rupa? Ini urusan pribadiku. Apa hak kalian? Kalaulah ayah dan ibu tiriku Mati ditanganku, bukan semata-mata alasan klise, balas dendam. Tetapi ini murni sebagai bahasa nurani. Aku tidak bersekutu dengan setan! Kasihan dong iblis, jadi kambing hitam terus? Ini naluriku untuk bertindak KEPADA PENONTON. KEPADA ORANG-ORANG YANG ADA DALAM IMAJINASINYA. Wah kacau rupanya kalian tidak hatam dengan doa? Doa itu perbuatan. Doa itu keinginan. Doa itu angan-angan. Doa itu harapan. Doa itu tingkah-laku kita. Itulah kemurahan Sang Pencipta, atas hidup kita? SEPETRTI MENDENGAR SUARA-SUARA YANG MENGHUJAT. MENUTUPI TELINGA BERPUTAR-PUTAR. GELISAH. Stop. Stop. Kenapa kalian jadi membela bapak dan ibu tiriku? Tindakan dan keinginanku beda benar dengan perbuatan bapak dan ibu tiriku. Bapak dan ibu tiriku kawin, adalah keinginan setan bukan doa. Kalau aku barulah doa,… ,… ,… Lho. Lho kenapa kalian bergembira dengan mentertawakanku? Apa kata-kataku salah? Hak azasi dong? Prerogative dong? Kreatif dong? Inovatif dong? Ah,… kalian bisanya tertawa melulu, benci dech aku? Sebel dech aku, muak-muak, muaaaaaaak tahuuuu? TIBA-TIBA DIA MENANGIS “SUASANA MUSIK DAN LAMPU IKUT MENGIRINGI KESEDIHAN HATINYA”. Tak ada yang lebih mulya dari hati seorang ibu. Ibu adalah tetimang kita di kala kita sedang dibenturkan masalah. Ibu adalah satu-satunya sorga dalam kehidupan dunia. HENING. Aku pernah mukim di sebuah pondok, mendalami nilai-nilai religius. Dimana betapa mulya posisinya seorang ibu bagi kita. Kalian tahu? Hei,… KEPADA PENONTON. Kalian tahu tidak? Kalau tidak tau, makanya dengarkan! Kalau sudah tau, seguru seilmu makanya jangan saling mengganggu ok? Sebab ini adalah sesuatu yang sakral, maka aku harus berdoa dulu. MULUTNYA BERKOMAT KAMIT SEPERTI SEDANG MERAJAH. Berapa literkah susu ibu yang terhisap dan diminum oleh kita? Berapa kotoran kitaklah yang terkecapkan dan termakam oleh ibu kita? Ketika ibu kita sedang makan? Dan kita menangis karcena pipis atau boker? Ibu berhenti dari makannya. Melayani kita. Lalu ibu melanjutkan makanya. Ih,… gak kebayang dech betapa joroknya kotoran kita termakan oleh ibu kita? SUARANYA MENINGGI. Aku tidak mau disebut durhaka. Aku tidak mau dibilang jadah. Aku tidak mau mengamalkan aji air susu dibalas dengan air tuba. Itulah sebabnya, kenapa aku membunuh bapak dan ibu tiriku sekaligus. Bukan semata-mata gelap mata, melainkan aku anak sholihah! Untuk saat ini kalian boleh tertawa atas penjelasanku. Sebab kalian tidak pernah mengalami hal sepertiku. Doaku pada kalian; cepat-cepatlah kalian mengalami kisah sepertiku, biar tau mana hitam, mana putih, mana yang namanya abu-abu. HENING. Pada suatu malam nan lembab, panjang dan dingin. Ketika seakan-akan benda-benda yang ada dihadapanku bergoyang. Atas kabar kematian ibuku, aku mendengar, aku melihat seulas senyum tersungging dari bibir bapak yang tebal, berlapis nikotin. Aku tak paham, tentang sesunging senyum itu, apakah ia berusaha menenangkan pikiranku? Aku bukanlah orang baik, tapi aku berusaha menjadi baik. Di luar sepengetahuan bapak dan ibuku; aku adalah pencadu narkoba, peminum minum-minuman keras, sesekali aku main permpuan dan judi, sebagai tambahanya. Jalan hidup yang aku tempuh, bagiku adalah wajar dan syah untuk dilakukan, sebab hidup adalah pilihan bukan? Seperti kedua orang tuaku yang memaksaku harus kuliah, demi sebuah prestisius di kehidupan bermasyarakat. Dan keinginan-keinginan yang bergejolak di kedalaman dada ini, adalah fitrahNya yang diberikan pada kita? Kalian boleh lho mencontoh dan meniru atau menjadi imitasiku? Atau meniru hidup seperti ibuku? Ibuku lahir dari keluarga terpandang, displin ilmunya tinggi, pemahaman nilai-nilai religiousnya sangat mantap. Kekayaan orang tuanya tak tertandingi di kota ini. Namun itu semua tidak menjadikan sosok ibu lupa pada nilai-nilai nas Sang Pencipta. HENING. Sedang bapaku, lahir dari kalangan strata sederhana. Ia adalah sopir pribadi ibuku, dikala ibuku masih perawan. Entah kenapa, siapa yang memulai, siapa yang menanamkan benih-benih cinta di hati mereka, posisi majikan dan pembatu, --berubah gembira: menjadi pasangan suami istri. Sampai akhirnya aku terlahir sebagai anak pertama, yang memilih hidup di jalur generasi koplo. Lima tahun berselang; lahirlah adiku satu-satunya. Adikku berjenis kelamin perempuan. Kecantikanya, sama seperti ibuku. Untungnya bibir adiku tipis. Tak kebayang kalau bibirnya tebal sepeti bapaku? Pasti adikku akan disebut sibibir jeding olehku? HENING. Aku sangat menyayangi adiku. Kemanapun ia pergi, aku kerap berada disampingnya. Walau awal-awal kelahiranya; aku sangat dibikin cemburu, sebab ibu dan bapaku jadi lebih perhatian pada dia. Adikku bernama Lastri Kinasih. HENING Kata ibuku: Lastri diambil dari kata lestari dan Kinasih diambil dari kata KEPADA PENONBTON Apa coba? Nah. Betul! Seratus, tus, tus,… dari kata kasih. Dimana penjabaran ibuku selanjutnya; Lastri Kinansih adalah sifat Sang Pencipta yang selalu menggabulkan doa-doa kita? Terutama doaku yang telah dikabulkaNya, --atas pembunuhan bapak dan ibutiriku. Betapa indah kasih Sang Pencipta. Betapa nikmat kepercayaan Sang Pencipta yang dibebankan di pundakku; aku bertindak sebagai algojoNya, untuk mencabut nyawa bapak dan ibu tiriku sekaligus dalam hari itu juga. HENING. KETAWA Lastri kecil perlahan-lahan tumbuh menjadi bunga desa. Kencantikanya harum mewangi, --menjadi momok sekampung. Sempat beberapa kali, Lastri hendak menjadi korban pemerkosaan, tapi untunglah aku kerap memergokinya. Bukan hanya hendak diperkosa oleh teman-temanya. Orang asing. Bahkan bapaku sendiri. Sejak saat itu, naluriku untuk membunuh tumbuh secara diam-diam; semua laki-laki yang mencoba melakukan tindak kriminal pada Lastri, tak ada yang selamat di tanganku; aku habisi nyawa mereka. Aku membunuhnya. Lastri tahu semuanya, namun Lastri diam. Dia tidak melaporkanku pada yang berwajib. Bahkan, ketika aku memergoki bapak mau memperkosanya, Lastri membela bapaku: “mas jangan sampai ibu tau tentang hal ini. Cukuplah kita saja yang tahu, kasian ibu. Pasti ibu syok berat mendengarnya? Lastri mohon sekali lagi padamu mas, Lastri mohon, bapak kita jangan kau bunuh, seperti lelaki-lelaki lainya?” Begitulah permohonan Lastri padaku. HENING. Detik jam, mendorong usia bumi. Bunga-bunga layu di mata. Usia dimakan masa. Ketika cinta sedang menuju puncaknya, kami sekeluarega tak bisa memandang dengan jernih. Kematian ibukulah, pangkal dari semua ini. Lastri syok atas kematian ibu. Jangankan Lastri, aku sendiri pun mewek termehek-mehek, --tato, anting dan rambut gimbalku, tak bisa menahan air mataku yang jatuh di hadapan jasad ibuku. HENING. Satu hari kemudian, dari kematian ibuku; barulah bapaku menikah kembali, Lastri kian defresi, sering tertawa sendiri, mukanya garang. Sesekali terlihat sendu. MENITIKAN AIR MATA. HENING. Hari berikutnya, setelah kami dikenalkan dengan ibu tiri kami; bapakku mengusir kami, dengan alasan tak ada hak waris untuk kami. Yang lebih menyakitkan, bahwa kami bukan darah dagingnya? Itulah sebabnya mengapa bapak berani melahirkan tindakan pemerkosaan pada Lastri? BANGKIT. BERANG. SEPERTI MENCEKIK LEHER BAPAKNYA. Bangsat. Asu. Jancuok. Orangtua biadab. Leher bapakku, aku cekik sekuat tenaga; namun adiku berteriak, bangkit dari duduknya: “ingat mas, mungkin ini sudah jalan takdir kita? mesti mas pernah bercerita tentang proses kelahiran kita yang sama keluar dari rahim ibu kita dan lelaki yang dihadapan kita saat ini, --selama ini, kita menyebutnya bapak kita? Bisa jadi, perkataan lelaki ini, benar adanya?” HENING. Dengan berat hati pikir dan rasa; hari itu juga, kami meninggalkan rumah besar ala arsitektur belanda. Kata almarhum ibuku, rumah itu sebagai hadiah perkawinan dari kedua orang tuanya yang kini sudah sama-sama tidur tenang di kedalaman tanah bersama ibuku. Kami tidak mengetahui alasan yang pasti, mengapa rumah itu jadi hak milik bapaku? Terlebih-lebih lagi, ketidakmengertianku; mengapa kami, tidak mewarisi darah daging bapakku? Apkah mungkin lelaki yang kusebut bapaku itu mandul? Lalu siapa bapak kami yang sebenarnya? Malam itu, bagi kami laksana kawah luka. Figure Bapak yang tegas. Sosok ibu yang nyantri, semuanya lenyap, ditelan duka raya. Tak ada kebanggaan dengan nilai-nilai. Kami berjalan menyusuri jalan hitam, melewati hutan lambang. Tiba dipersimpangan, tiga kelokan dari kost, di dekat tempatku kuliah: sambil istirahat; Lastri membuka percakapan “mas, mungkin ini sebabnya, mengapa ibu mau menikahi bapak, --padahal bapak sopirnya ibu? Adakah ibu kita sebinal itu, hamil diluar nikah, sebelum kawin dengan bapak? Dan kau mas, bukan anak bapak? Pun demikian aku, bukan anak bapak pula, lantas siapa bapak kita sebenarnya mas? Adakah lelaki yang dianggap bapak kita selama ini, adalah penutup aib ibu kita? Bukankah dia, dulunya sopir ibu kita? Dan rumah itu adalah pil tutup mulut buat lelaki yang selama ini kita anggap sebagai bapak?” Aku tak bisa menjawabnya dengan tegas, nyaris tak ada jawaban, selain suara nafasku, kian tak terpacu degupnya. Bahkan saat itu, aku takut dengan suara nafasku sendiri. “mas, kau masih ingat, ketika bapak mau memperkosaku? Waktu itu, kau hendak membunuhnya demi kehormatanku, namun aku melarangnya untuk kau habisi? Kini sudah jelas semuanya, bahwa dia bukan bapak kita. Mas, mengapa tidak kau bunuh saja dia sekarang?” Mendengar pemaparan berikutnya, naluri membunuhku gairah kembali, dalam hatiku, aku menyanggupi keinginan adiku itu. Satu minggu kemudian, tanpa sepengetahuan Lastri, aku membunuh bapak dan ibu tiriku. BEREKPRESI MEMPRAKTEKAN MEMBUNUH. Agh,… agh,… dengan tujuh kali tusukan yang tepat mengena, di arah jantung bapak, bapak mati dengan belati. Sedangkan ibu tiriku, aku tebas lehernya dengan golok, sampai putus. Aku sudah terbilang professional untuk membunuh, tak ada jejak yang aku tinggalkan untuk di dengus polisi. Semua berjalan lancar dan sempurna; sampai aku kembali ke rumah kostanku di kota; tak satupun yang tahu, bahwa akulah pembunuhnya, termasuk Lastri. Tiga hari dari sana, orang sekampung digegerkan dengan bau bangkai yang tidak lain dari rumah kami. Tetangga yang tau tempat kami bermukim, memberitahu kami; bahwa kemungkinan besar, --berdasarkan penyelidikan polisi, rumah orangtua kami kemasukan rampok. Memang benar, disamping aku membunuh mereka; aku pun merampoknya, yah,… lumayanlah, untuk bekal kami hidup di kota. Wajarkan? Anak yang dibuang gitchu lho? Sampai penyelidikan polisi usai. Sampai kami kembali kerumah tersebut. Lastri tidak tau, bahwa itu semua atas perbuatanku yang mengabulkan doanya. “Sang Pencipta telah membalaskan dendam untuk kita Lastri?” Itu kata-kata terindah yang keluar dari rahim mulutku, untuknya. Lastri tak berkomentar. HENING. Hari melipat hari. Gulungan ingatan. Detik jam mengubah segalanya; aku melihat Lastri kian seperti aku. Perangainya yang lembut mirip kebijakan ibu dalam berbagai hal; berubah total menjadi 180 derajat, aku heran, apa yang harus aku larang, sementara ucap dan lakuku pun bukan contoh yang baik bagi Lastri? Sempat aku berfikir, adakah aku dan Lastri, mewarisi darah psikopat, darah pemberangus, darah pemabuk, darah Dracula dari ibu atau bapak kandungku yang asli, berdasarkan cerita lelaki itu, yang selama ini kami anggap sebagai bapak kandungku sendiri? Entahlah. Kini Lastri suka mabuk-mabukan, tak ada lagi ayat-ayat kauniah yang keluar dari mulutnya, bila menjelang senja. Lastri jadi rakus. Liar. Ganas. Serta sudah lupa antara hubungan darah, sampai akhirnya kami melambang sari. Di sisi lain, kali pertama kami melakukan gituan, ada perasaan tak nyaman. Yah, takut-takut gitu dech, gelisahnya seperti kali pertama aku membunuh, tapi kesininya jadi ketagihan lho? Iiiih,… gereget dech aku: gereget, geret dan gereget,… banget, ---bila Lastri mualai merajuk. SADAR. Oh, hampir saja lupa: di sisi lain, aku punya kebanggan tersendiri, --sebagai naluriku seorang laki-laki; aku merasa bangga bisa menjebol gawang perawan bunga desa. MEMPERAKTEKKAN SENGGAMA. HENING. Di malam yang lain setelah pesta koplo yang dibasuh nafsu purbawi, sebagai kesempurnaan pesta. Tanpa sadar, aku bercerita pada Lastri, bahwa akulah yang telah menmbunuh bapak dan ibu tiri kami. HENING. Pagi hari nan bening, ketika kicau burung dan hangat mentari menyapa seluruh penghuni bumi bagian timur, bukan barat. Ketika aku sedang terlelap tidur, lagi asyik-asyiknya bermimpi dengan bidadari; sepasukan polisi mengepung rumah kami dan aku ditangkapnya. Tak ada celah untuk aku meloloskan diri dari kepungan polisi. Di berada rumah, ketika tanganku lemah dalam borgol; aku lihat, sesungging senyum seorang lelaki, yang selama ini kami anggap bapak, mekar dibibir Lastri. Apakah ia berusaha menenangkan pikiranku? BERTERIAK. Agh,… bajingan kamu Lastri. Kau khianat. Bangsat! Bukankah semua kematian mereka, atas keinginan doa-doamu selama ini? Bedebah! Jancuok! ***101208***
________
Catatan: teks dalam naskah ini bisa dirubah oleh si penggarap, --dengan tidak mengurangi benang merahnya.



____________
lintang Ismaya, salah satu nama pena dari sembilan nama pena yang dimiliki oleh Doni Muhamad Nur. Lahir di Tasikmalaya pada tanggal 01 Oktober 1979. Alumni STSI bandung pada jurusan teater. Masih membujang. Puisi, cerpen, laporan reportase, esai, kritrik seni yang ditulisnya tersebar di berbagai media cetak, baik terbitan lokal, daerah maupun nasional. Disamping itu, ia juga menulis novel, naskah sinetron dan film. Sesekali menyutradarai teater, videoclip dan sinetron.


Lebih Lanjut..

Kamis, 09 Oktober 2008

UNTUK KAU BACA "side 6"

Merahnya Ungu
cerpen: Lintang Ismaya


Angin itu datang tiap waktu, dari berbagai penjuru. Berputar. Ada yang dari barat. Kali ini, angin kembali datang dari timur. Musim demi musim silih menyilih, masing-masing menawarkan ribuan mimpi. Burung-burung terbang, mengikuti angin musim. Harapan demi harapan mekar. Keabadian hanya ada dalam kenangan.
Masih kusimpan, saputangan yang menyimpan air mata, –luka batihnmu. Malam itu; mengunjungi bola matamu, tak kutemukan lagi warna pelangi. Binar-binal manja kekanak-kanakkanmu kepadaku, –tak mencuat kepermukaan. Ada apa denganmu?
Sarang laba-laba jadi tabir di pintu bola matamu yang purnama. Bentangan-bentangan jaringnya membentuk irisan cahaya, semacam warna pelangi. Ada matahari di belakangnya, –semacam bola api dendam. Ada apa denganmu?
Kenapa estetika bola matamu diganti dengan motif matahari yang dijaring sarang laba-laba? Meski benang-benang halus sutra laba-laba memantul bias matahari, –memancarkan indah komposisi pelangi. Namun itu bukan pelangi yang biasa aku temukan di binar-binal bola matamu. Ada apa denganmu? Kehilangan pelangikah seperti aku?
Hei,.. adakah dikau mengganti kedua bola matamu saat musim liburan panjang? Musim apa yang sedang mengatmosfir di kedua bolamatamu kini? Tancap kayon sudah aku digiring fijar matamu, –mengembara ke negeri enigma. Bicaralah?
Tak henti-henti air matamu mengalir, haruskah setiap luka kerap dibasuh tangisan? Tidak. Selalu saja ada kelokkan dalam menempuh ini hidup, begitulah, –kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Ada batas-batas yang tak bisa ditembus dengan logika. Kau tahu? Kesadaran tertinggi adalah pasrah dalam segala hal. Benar, kita sudah mengetahuinya, persoalannya sekarang adalah, –tentang perakteknya.
Look. Lihat-lah, lengan kirimu sekarang bertato. Tato bunga melati, –berhias motif bulu cendrawasih. Sejak kapan kau jadi liar? Melati?
Shell we get married? Maukah kita menikah?”
But Why are you asking? Kenapa kamu bertanya?”
Tatto. Do you want to get married? Tato. Apakah kamu ingin menikah?”
“Aku pernah berpikir tentang perkawinan, tentang keluarga, tentang hidup berumah tangga. Itu dulu. Belakangan ini tidak pernah terpikirkan lagi?”
**
Angin itu datang tiap waktu, dari berbagai penjuru. Berputar. Ada yang dari barat. Kali ini, angin kembali datang dari timur. Daun-daun dipangkas angin dari tangkainya, –melayang-layang tak jelas gerak dan arahnya, sebelum akhirnya jatuh ke bumi. Guguran demi guguran daun, diasuh detik; menjadi humus. Menyuburkan pohon. Melahirkan pohon. Memberi harapan baru. Keyakinan hanya ada dalam diri.
Keabadian itu tak ada dalam pertarungan hidup. Yang ada hanyalah kemuliyaan, dimana suatu problem adalah arena perjudian dibungkus cuaca hati. Dimanapun aku berpijak, di sanalah rumahku dalam naungan sukma tanpa area kata-kata sebab nurani telah terpatri di dasar jiwa.
Sendiri menemu sepi dalam mimpi. Aku yang terpaut dalam galau hati, entah kekuatan apa yang menggali inti rasa, tiba-tiba saja aku terjerat asmara. Aneh memang, –adakah ini yang dinamakan: demikian rahasia hari-hari yang kita lewati? Padahalal diri ini merindu hadirnya entah, –bukan itu.
Infatuation, ketertarikan sesaat. Ketertarikan sesaat? Hanya tergila-gila sebentar, belum sampai tingkat ketidakwarasan. Kewarasan adalah keadaan otak dan cinta melampaui otak. Rasio, logika dan apa saja yang berasal dari otak, –cinta melampaui semuanya. Lalu apa yang menjadi dasar bagi hubungan seperti itu? Infatuation atau ketertarikan sesaat harus berlandaskan sesuatu. Apalagi kalau bukan badan? Satu badan menarik badan yang lain. Satu badan terasa menarik oleh badan yang lain. Satu badan tertarik pada badan yang lain. Seks? Mungkin?
Pikiranku melayang, terkenang pada kisah Sapo, Cynaro de Bergerac, Hamlet; mungkin itu cinta? Yap, tentu cinta; sehingga bisa melampaui batas-batas kelahiran dan kematian. Itu sebabnya cinta disebut abadi?
“By the way. Ngomong-ngomong. Semalam aku berpikir tentang hubungan kita. Selama beberapa hari ini, kita jalan bersama. Setiap hari bertemu. Lalu aku berupaya untuk melihat ke dalam diri. Perasaan apa yang aku miliki terhadapmu. Cinta? Ups, rasanya terasa sulit untuk menjelaskan perasaanku dengan satu kata ‘cinta’. Ada caring—kepedulian. Ada keinginan untuk sharing—berbagi rasa. Ada cinta, ada persahabatan, ada rasa hormat. Bahkan, ada juga rasa rindu kalau belum menerima telephone atau SMS darimu. Campur aduk rasanya. Kita memang tidak merasa saling memiliki, tapi kita sering merasa kehilangan?”
“Sudahlah, jangan berfikir banyak. Tidak perlu memberi nama kepada hubungan kita. Yang jelas bukan seks. Bukan pula cinta. Mungkin kasih?”
“Lalu apa definisi kasih?”
“Akupun tidak tahu. Tak terjelaskan. Kata orang shaleh, kasih itu Allah?”
“Lalu bagaimana menjelaskan Allah?”
“Seperti yang kau bilang; kita memang tidak merasa saling memiliki, tapi kita sering merasa kehilangan. Mungkin?”
“Siapa yang menciptakan kasih?”
“Allah?”
“Kalau begitu, yang diciptakan harus menjaga yang menciptakannya?”
“Maksudmu?”
Shell we get married? Maukah kita menikah?”
But Why are you asking? Kenapa kamu bertanya?”
Kasih. Do you want to get married? Kasih. Apakah kamu ingin menikah?”
“Aku pernah berpikir tentang perkawinan, tentang keluarga, tentang hidup berumah tangga. Itu dulu. Belakangan ini tidak pernah terpikirkan lagi?”
**
Angin itu datang tiap waktu, dari berbagai penjuru. Berputar. Ada yang dari barat. Kali ini, angin kembali datang dari timur. Wangi mawar diterbangkan angin. Terhisap parat ke liang nyawa. Menyengat. Seperti ayat-ayat kauniah, kian aku meraba abatatsa, tafsir demi tafsir mekar, melahap pikir dan rasa, detak jantung tak teratur pacunya; rindu cahaya maha cahaya. Risalah hidup manusia adalah kejelasan.
Ada yang mencintaimu sendirian saja, ketika kau sedang kuncup. Ada yang mencintaimu beramai-ramai, ketika kau mekar dan mulai merajuk, siapa yang akan mencintaimu, ketika kau mulai layu dan membusuk?
Aku kenali engkau, wahai wajah angkuh namun sesungguhnya di hatimu menyimpan gelisah. Aku kenali engkau dari ketegaran raga bak batu karang tahan gelombang di lutan, namun sebenarnya jiwamu rapuh. Diplomasi dalam meja kantor, pemecahan masalah, konsultan, tak diragukan lagi, feminisme adalah trade mark dirimu. Nyaris tak ada cinta di wajahmu. Tidak merindukan datangnya seorang pemimpin, untuk melunaskan kesepian demi kesepian hari-harimu. Aku tahu, dibalik topeng siangmu; setiap malam, sambil tiduran, kau habiskan membaca buku-buku novel, kisah-kisah romantik, menghayal tentang terjadinya prosesi sebuah pernikahan yang begitu takjub, ajib dan sempurna.
Para bidadari bertindak sebagai pendampingmu, dan mengangkatkan gaun pengantinmu. Di belakangnya para bidadara bersikap kesatria, mengawal engkau, yang riang bersepuh harap-harap cemas, menunggu kedatangan pangeran pilihan hati.
O, aku tahu semua itu dari sorot matamu. Aku tahu semua itu dari bantal-guling yang kau keloni, menyisakan karat purba yang amis telur. Jangan kau dustakan diri dengan kedok keangkuhanmu. Ketegaran batu karang di lautan yang kau hisap menjadi sari pati tubuhmu, sesungguhnya itu semua ketidak berdayaanmu, menghadapi realita.
Semakin kau menghindar dari kenyataaan hidup, kian jauh dari angan-angan yang kau cita-citakan. Pejamkan matamu, menyelamlah kedasar laut pikiranmu, biarkan kejujuran berbicara apa adanya. Sebab di sana tersimpan cahaya Illahi.
“Hiburlah hatimu waktu demi waktu,… karena hati yang lelah akan buta. Cinta apa yang sedang kau tunggu? Kasih apa yang sedang kau nanti? Siapa yang menggerakkan pikir dan rasa?”
“HujahNya!”
Shell we get married? Maukah kita menikah?”
But Why are you asking? Kenapa kamu bertanya?”
HujahNya. Do you want to get married? HujahNya. Apakah kamu ingin menikah?”
“Aku pernah berpikir tentang perkawinan, tentang keluarga, tentang hidup berumah tangga. Itu dulu. Belakangan ini tidak pernah terpikirkan lagi?”
“Janganlah berhenti di terminal pengalaman. Setiap terminal harus dilewati, dilalui; ditinggalkan demi perjalanan itu sendiri. Kebebasan dari terminal pengalaman, itulah hujahNya. Itulah kebebasan sejati!”
“Tapi kita terpatok nada; sahabat?”
“Sssst,… I love’u?”
Angin itu datang tiap waktu, dari berbagai penjuru. Berputar. Ada yang dari barat. Rab, kali ini, angin kembali datang dari timur. Warna pelangi di bola mata kita, yang sempat menghilang, kini kembali kita temukan; di hujahNya!*** bumiemih, 30092008



________
Lintang Ismaya. Nama pena dari Doni Muhamad Nur, Lahir di Tasikmalaya pada tanggal 01 oktober 1979 dari pasangan alm. Y. Yuhana Sulaiman dan Rd. Sarah Solihati. Baginya: menulis puisi, Cerpen, esai, artikel kebudayaan, naskah drama, naskah sinetron dan film adalah keisengannya yang menjadi kebiasaan disenggang waktu, –dalam menghabiskan sisa umur atas karunia-Nya. Sempat jadi redaktur khusus di majalah Seni & Budaya “Suara Cangkurileung Bandung” dari tahun 2002-2004 dan kameramen “Magang” di Pusat pendokumentasian Audio Visual STSI Bandung. Pada tahun 2007, bekerja sebagai skrip & director di taZtv. Tahun 2008, sebagai pembina kesenian, program DISBUDPAR JABAR gawe bareng PUSLITMAS STSI Bandung, merevitalisasi Angklung Badud yang sudah hidup ± 130 tahun. Adapun tulisan prosanya tersebar dan hadir diberbagai terbitan mass-media, baik nasional, daerah, maupun lokal. Alumni STSI (non semester) Bandung pada Jurusan Teater, –Program Studi Penulisan. Adapun antologi puisinya yang telah terbit diantaranya: Orasi Kue Serabi (GKT 2000) Bandung dalam Puisi (YJBS 2001, 2002) Enam Penyair meminum Aspal (SST 2002) Poligami (SST 2003) “antologi penyair Jawa Barat-Bali” ROH (bukupop 2005) dan beberapa Antologi puisi lainnya. Adapun novelnya yang akan segera terbit dengan judul HypoCritE & Sekeranjang Cinta. Kini beliau menjabat sebagai Presiden Komunitas mEdoMe Bandung, Ketua Umum Indonesia Bangkit Persada Enterprise Tasikmalaya dan Instruktur Teater Dongkrak Tasikmalaya. ***

Lebih Lanjut..

Sabtu, 20 September 2008

UNTUK KAU BACA "side 5"

Lintang Ismaya

KEPADA PENYAIR PUNK
--Ratna Ayu Budhiarti--

Pipi kiri bertato melati
Rambut mohek sewarna darah
Hidung tertancap paku
Tipis bibir bawah menggelayut gelang

Kulit lengan penuh tato
Tubuh ceking kurus
Berabad-abad mencari cinta
Menangis di persimpangan

Gulungan kenagan
Jalan-jalan salah alamat;
“kepada cinta, aku telah
tenggelam dalam tiada”
Teriaknya.

Langkah-langkah dipatahkan
Waktu
Detik jam mendorong bumi;
”aku akan tetap mencintai-Mu
karena hanya Engkau yang sanggup membuatku
tiada dan tenggelam di lautan kebesaran-Mu”
Isaknya.

Kembali pada titik nol
Fantastik!

2008




Lebih Lanjut..

Senin, 15 September 2008

UNTUK KAU BACA "side 4"

M A H A B A H

"biarkan bathin ini menangis dan berhenti dengan sendirinya"

1.

ada yang mencintaimu sendirian saja

ketika kau sedang kuncup

ada yang mencintaimu beramai-ramai

ketika kau mulai mekar dan merajuk

siapa yang akan mencintaimu

ketika kau layu

dan mulai membusuk?

2.

siapa yang mendatangkan cinta diantara kalian?

pada prinsipnya yang diciptakan harus menjaga penciptaNya

begitulah proses alam yang sebenarnya dalam konsep mahabah

kita sedikit berfilsafat dalam kontek keyakinan padaNya!

3.

aku paham dengan seluruh isyarat yang salah alamat

kata-kata tak menemu makna dalam pencarianku

tapi siapa yang bisa menghanguskan keyakinan

ketika dian itu dinyalakan tak terduga adanya

demikianlah yang diciptakan mendapat titipan

dari yang menciptakanNya

biarkan aku menjadi setitik debu yang mungkin

mengotori baju kebesaranmu

biarkan debu itu menemu titik klimak kejatuhannya

dimana yang menciptakan kita punya kehendak

hanya takdirNyalah yang bisa meruntuhkan keyakinan

mungkin ini sedikit konyol dan kamuplase

namun realita hidup siapa yang bisa menolaknya?

biarkan debu itu lenyap dengan sendirinya

bahkan mungkin debu itu yang akan menjadi mahkota

kebesaranmu detik waktu mendorong usia bumi

satu detik ke depan kita takan pernah tahu

rencana apa yang sedang disusun penciptaNya

yang terang dan jelas

keindahan adalah denting dawai hati kita

yang rindu Cahaya Maha Cahaya

4.

bahasa dan jarak adalah

cinta dan kebencian yang tipis batasannya

mengakui itu memang sulit

biarkan cerita ini menemu

endingnya sendiri

satuhal yang harus terjaga

ukhuwah dalam bingkai silaturahmi

jangan sampai hangus

sebab itu kunci hidup maghfirahNya

jangan sampai terjebak pada sombong

yang menjauhkan ambang wangi surga

untuk dicum apalagi dimasuki

5.

hati mati langkah terpatri

ini yang harus dihindari

gelisah memang melodi hidup

jadikan ketidaknaymanan ini

sebagai gerbang hidayahNya

satu pintu tertutup

seribu pintu terbuka

bagi hati yang berfikir

inilh risalah hati yang diciptakan

oleh penciptaNya hanya kepala dingin

pikiran yang tak terombang ambing

yang bisa mentafakurinya

menjadi sebuah hidangan syukur nikmat

dari dan atas kehendaknya

6.

senja dilahap malam

pribadi menilai pribadi

saling membaca dalam pikir dan rasa

impian demi impian lebih subur mekar

ketimbang musim itu sendiri

yang menawarkan ribuan mimpi

demikianlah adanya kita tak bisa

membaca dengan pasti atas enigma pencipta

7.

sejatinya yang diciptakan

hidupnya hanya tujuh hari

kejelasan adalah risalah hidup yang diciptakan

sebelum bunga rampai menghias tanah merah

harapan itu ada

pencipta yang senang membolak balikan hati

tak pernah terbaca gerak dan arahnya

dikehidupan yang akan datang

bilamana kita dipersatukan?

rahmat atau kutukkah?

tak ada yang bisa menjawab dengan pasti

selain izrail yang merayapi usia rambut kita

dengan ribuan catatan peristiwa

yang tengah dan telah disaksikannya

atas kehendak pencipta



Lebih Lanjut..